Tuesday, April 2, 2013

Sekilas Pengetahuan

KISRUH KENAKALAN REMAJA YANG SEMAKIN MENINGKAT



Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan dapat menggantikan generasi-generasi terdahulu dengan kualitas kinerja dan mental yang lebih baik.  Dengan adanya program pendidikan tingkat dasar, menengah dan tingkat tinggi diharapkan dapat menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi.  Namun sayangnya dalam dasawarsa terakhir ini kenyataan menunjukkan hal yang berbeda.  Banyak data dan informasi tentang tingkat kenakalan remaja yang mengarah pada tindakan kekerasan dan melanggar hukum.  Khusus untuk kasus kenakalan remaja yang menjurus pada tindakan kriminal dan penggunaan narkoba sangat membutuhkan penelitian yang mendalam agar di dapat suatu gambaran yang jelas bagaimana cara pencegahan dan penanggulangan masalah kenakalan remaja tersebut.

Mengingat semakin besarnya masalah yang dihadapi oleh anak-anak remaja, maka studi ini secara umum bertujuan untuk menganalisa keterkaitan antara faktor-faktor lingkungan di dalam keluarga, lingkungan sosial dan perilaku antisosial remaja yang menyangkut kenakalan remaja. Secara khusus, studi ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui kharakteristik remaja yang meliputi usia, jenis kelamin, harapan, kebiasaan hidup dan personality
2.      Mengetahui kharakteristik keluarga yang meliputi umur, pendidikan dan pendapatan orang tua serta besar keluarga
3.      Mengetahui lingkungan teman bermain baik berupa dukungan sosial, pengaruh positif atau negatif
4.      Mengetahui pola asuh orang tua terhadap remaja dan komunikasi antar anggota dalam keluarga serta faktor-faktor yang berkaitan dengan pola asuh dan komunikasi tersebut
5.      Mengetahui kecenderungan perilaku kenakalan remaja (apakah tergolong kategori kekerasan atau kenakalan kriminal/narkoba)
6.      Menganalisa secara global model keterkaitan faktor-faktor yang berpengaruh pada kenakalan remaja (baik pengaruh langsung maupun tidak langsung) dengan menggunakan pendekatan metoda Structural Equation Modeling (SEM)
7.      Menganalisa pegaruh kenakalan remaja pada prestasi belajar remaja (dengan penggunaan analisa multi-report)


 Kenakalan Remaja

Kenakalan Remaja Sebagai Akibat Pengaruh Lingkungan Sosial Perubahan sosial dan budaya yang semakin kompleks dan dinamis merupakan ciri perkembangan masyarakat akhir-akhir ini. Akibat perubahan tersebut yang relatif cepat ialah adanya perubahan konsep tingkah laku dan perbuatan. Perubahan konsep tingkah laku dan perbuatan ini pula dampaknya terjadi pada remaja, sehingga mereka kelihatan radikal dan agresif.


      Kejahatan adalah fenomena sosial yang timbul dan berkembang dalam masyarakat sehingga kejahatan yang pada hakekatnya suatu budaya manusia (as old as man kind itself) sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, maka kejahatan berkembang semodern budaya manusia itu sendiri (as modern as man kind itself). Dengan demikian dapatlah ditarik suatu pendapat yang fundamental, yaitu bahwa kejahatan akan senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.



     Kejahatan yang dilakukan remaja akhir-akhir ini tentu sangat memprihatinkan. Secara Intens, jenis kejahatan yang dilakukan oleh remaja ditunjukkan Crime Index yaitu: pencurian dengan pemberatan, pencurian dengan kekerasan, pencurian kendaraan bermotor, penipuan, penganiayaan berat, penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya, serta kejahatan susila. Jenis kejahatan remaja tersebut memerlukan evaluasi kebijakan penaggulangan yang selama ini ditempuh.



     Berbagai upaya penangggulangan telah banyak dilakukan, tetapi hanya menyangkut tindakan Kepolisian, bukan pada perbaikan kondisi atau sebab-sebab yang menimbulkan kejahatan itu sendiri. Jadi kebijakan yang diambil hanya kebijakan yang parsial saja tidak menyentuh kepada akar permasalahan yang menimbulkan kejahatan. Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh polisi dengan melakukan Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) yang merupakan operasi rutin yang ditingkatkan kwantitas maupun kualitasnya maupun Operasi Khusus Kepolisian Kendali Pusat yang dalam pelaksanaannya dalam rangka penaggulangan kejahatan yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa belum mampu menekan atau mengurangi kejahatan.



     Berangkat dari pandangan serta pengkualifikasian kejahatan yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa, maka kebijakan penanggulangan kejahatan yang dilakukan juga menggunakan cara-cara yang diluar prosedural formal peradilan. Maksudnya adalah terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa ini penyelesaian senantiasa mempertimbangkan berbagai aspek, baik ditinjau dari aspek kepastian hukum, kepentingan hukum dan kepentingan pelaku kejahatan.



      Berbicara mengenai pencegahan dan penanggulangan kejahatan (PPK) utamanya bagi kepolisian tentunya bukan hal yang baru bagi praktisi, bahkan sudah merupakan pekerjaan rutin sehari-hari.



      Pengertian secara etimologis telah mengalami pergeseran, akan tetapi hanya menyangkut aktivitasnya, yakni: istilah kejahatan (Delinquency) menjadi kenakalan. Dalam perkembangan selanjutnya pengertian subyek/pelakunyapun mengalami pergeseran. Ada beberapa pakar yang ahli dalam “Juvenile Deliquency” memberi definisi agak berbeda dengan definisi yaang telah disebutkan di atas.



      Seorang psikolog, Bimo Walgito merumuskan arti selengkapnya dari “Juvenile Deliquency” yakni: Tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan suatu kejahatan, jadi merupakan perbuatan yang melawan hukum, yang dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja.



     Sedangkan Fuad Hasan merumuskan definisi Deliquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan.



     Perumusan arti “Juvenile Deliquency” oleh Fuad Hasan dan Bimo Walgito nampak adanya pergeseran mengenai kualitas anak menjadi remaja/anak remaja. Bertitik tolak pada konsepsi dasar inilah, maka “Juvenile Deliquency” pada giliranya mendapat pengertian “Kenakalan Remaja”. Dalam pengertian yang luas tentang kenakalan remaja ialah: perbuatan/kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja bersifat melawan hukum hukum, anti sosial, anti susila dan menyalahi norma-norma agama.



KONTROL SOSIAL



      Teori kontrol atau sering juga disebut teori kontrol sosial berangkat dari asumsi atau anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakat. Ia menjadi baik kalau saja masyarakatnya membuatnya demikian, dan menjadi jahat apabila masyarakatnya membuatnya demikian.



      Pertanyaan dasar yang dilontarkan paham ini berkaitan dengan unsur-unsur pencegah yang mampu menangkal timbulnya perilaku delinkuen di kalangan anggota masyarakat, utamanya para anak dan remaja, yaitu: mengapa kita patuh dan taat pada norma-norma masyarakat? Atau mengapa kita tidak melakukan penyimpangan? pertanyaan dasar itu mencerminkan suatu pemikiran bahwa penyimpangan bahwa penyimpangan bukan merupakan problematik yang dipandang sebagai persoalan pokok adalah ketaatan atau kepatuhan pada norma-norma kemasyarakatan dengan demikian menurut paham ini sesuatu perlu dicari kejelasannya ialah ketaatan pada norma, dan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang patuh atau taat pada norma-norma kemasyarakatan. Pada dasarnya upaya menjelaskan perilaku “tidak patuh norma”.



     Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila penganut paham ini berpendapat bahwa ikatan sosial (sosial bound) seseorang dengan masyarakatnya dipandang sebagai faktor pencegah timbulnya perilaku penyimpangan. Seseorang yang lemah atau terputus ikatan sosialnya dengan masyarakat, “Bebas” melakukan penyimpangan. Seseorang dapat melemah atau terputus ikatan sosial dengan masyarakatnya, manakala di masyarakat itu telah terjadi pemerosotan fungsi lembaga kontrol sosial informasi di sini ialah sarana-sarana kontrol sosial non hukum positif atau dalam konteks masyarakat kita sarana-sarana tersebut dapat diidentikan dengan lembaga adat, suatu sistem kontrol sosial yang tidak tertulis namun memperoleh pengakuan keabsahan keberlakuannya di masyarakat. Dengan demikian berarti bahwa manakala di suatu masyarakat, di mana kondisi lingkungannya tidak menunjang berfungsinya dengan baik lembaga kontrol sosial tersebut banyak akan mengakibatkan melemah atau terputusnya; dan pada gilirannya akan memberi kebebasan kepada mereka untuk berperilaku menyimpang.



KEJAHATAN ANAK



      Pengertian tentang kejahatan anak yang dalam berbagai literatur dikenal dengan istilah “juvenile deliquency” memiliki keberagaman. Istilah yang sering terdengar dan lazim dipergunakan dalam media massa adalah kenakalan remaja atau sering juga dipergunakan istilah kejahatan anak. Istilah kejahatan anak di rasakan terlalu tajam. Sementara istilah kenakalan remaja sering di salahtafsirkan dengan kenakalan yang tertuangkan dalam pasal 489 KUHP. Untuk menghindari pemaknaan yang kurang tepat atau berlebihan mak dipakai istilah Juvenile Delinquency atau kejahatan anak.



      Sementara pengertian tentang anak itu sendiri juga terdapat beberapa pemahaman yang berbeda. Pengertian anak dalam kaitannya dengan prilaku delinkuensi anak biasanya didasarkan atas tingkatan umur. Namun demikian adapula yang mendasarkan pada pendekatan psikososial.



      Pengertian anak di sini termasuk juga remaja, karena dalam konteks hukum peristilahan remaja kurang lazim dipergunakan. Dalam perundang-undangan biasanya di sebutkan dengan istilah anak, belum dewasa (minder jarig), belum cukup umur dan sebagainya.



      Pendekatan yang didasarkan atas umur/usia terdapat berbagai variasi. Di Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batas umur 8-18 th, sementara 6 negara bagian menentukan batas umur 8-17 th, ada pula bagian lain yang menentukan batas umur 8-16 tahun. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 th dan di Australia ditentukan 8-16 th. Di Belanda di tentukan antara umur 12-18 th. Di negara-negara Asia antara lain srilangka menentukan batas umur antar 8-16 tahun. Di Jepang antara 14-20 th.sedangkan negara-negara Asean antar lain Philipina menentukan 7-16 tahun. Di Malaysia antara 7-18 th. Singapura menentukan batas antara 7-16 th. Sedangkan di Indonesia sendiri berdasarkan ketentuan UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak , anak ditetatpkan pada usia 8-18 th.



      Sementara batasan anak yang didasarkan aspek psikososial, klasifikasi perkembangan anak hingga dewasa di kaitkan dengan usia dan kecenderungan kondisi kejiwaanya.



      Perkembangan usia anak hingga dewasa dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu a). anak, seseorang yang berusia di bawah 12 tahun; b). Remaja dini, seseorang yang berusia12-15 tahun; c) remaja penuh, seseorang yang berusia 15-17 tahun ; d) Dewasa muda seseorang yang berusia 17-21 tahun; e) Dewasa, seseorang yang berusia di atas 21 tahun.



      Masing-masing tingkatan usia mempunyai karakteristik kejiwaan sendiri-sendiri. Paulus Hadi suprapto menyatakan bahwa remaja dini (usia 12-15 tahun) memiliki kecenderungan kejiwaan antara lain a). sibuk menguasia tubuhnya, karena ketidak seimbangannya postur tubuhnya, kekurang nyamanan tubuhnya; b). Mencari identitas dalam keluarga, satu pihak menjurus pada sifat egosentris, pada lain pihak belum bisa sepenuhnya diserahi tanggung jawab, sehingga ia sangat memerlukan daya tampung dari lingkungan keluarganya; c). Kepekaan sosial tinggi, solidaritas pada teman sangat tinggi dan besar kecenderungan mencari popularitas. Dalam fase ini ia sibuk mengorganisasikan dirinya, mulai mengalami perubahan dalam sikap, minat, pola-pola hubungan pertemanan, mulai timbul dorongan seksual, bergaul dengan lain jenis; d). minat ke luar rumah tinggi, kecenderungan untuk trial and error tinggi; e). mulai timbul usaha-usaha untuk menguasai diri baik di lingkungan rumah, sekolah, klub olah raga, kesenian, dan dilingkuangan pergaulan pada umumnya. Sementara pada tahapan remaja lanjut, ciri-ciri melekat padanya ialah a). sudah mulai menampakkan dirinya mampu dan bisa meneriam kondisi fisiknya; b). mulai dapat menikmati kebebasan emosionalnya; c). muali mampu bergaul; d). sudah menemukan identitas dirinya; e). mulai memperkuat penguasaan diri dan menyesuaikan perilakunya dengan norma-norma keluarga dan kemasyarakatan dan f). mulai perlahan-lahan meninggalkan reaksi kekanak-kanakkan.



      Paham Kenakalan Remaja dalam arti luas meliputi perbuatan-perbuatan anak remaja yang bertentangan dengan kaedah-kaedah hukum tertulis baik yang terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun perundang-undangan Pidana diluar KUH Pidana. Dapat pula terjadi perbuatan anak remaja tersebut bersifat anti sosial, perbuatan yang menimbulkan keresahan masyarakat pada umumnya, akan tetapi tidak tergolong delik pidana umum maupun pidana khusus. Ada pula perbuatan anak remaja yang bersifat anti susila, yakni durhaka kepada kedua orang tua, sesaudara saling bermusuhan. Di samping itu dapat dikatakan kenakalan remaja, jika perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama yang dianutnya misalnya remaja muslim enggan berpuasa, padahal sudah tamyis bahkan sudah baligh, remaja Kristen/Katholik enggan melakukan sembahyang/kebaktian. Demikian pula yang terjadi pada remaja Hindu dan Budha.



      Paradigma kenakalan remaja lebih banyak luas cakupannya dan lebih dalam bobot isinya; kenakalan remaja tersebut meliputi perbuatan-perbuatan yang sering menimbulkan keresahan dilingkungan masyarakat, sekolah maupun keluarga, contoh sangat simple dalam hal ini antara lain; pencurian oleh remaja, perkelahian dikalangan peserta didik yang kerap kali berkembang menjadi perkelahian antar sekolah, menganggu wanita dijalan yang pelakunya anak remaja, sikap anak yang memusuhi orang tua dan sanak saudara atau perbuatan-perbuatan lain yang tercela seperti menghisap ganja, mengedarkan pornografi dan corat-coret tembok pagar yang tidak pada tempatnya.



      Dengan demikian nampak jelas bahwa apabila seorang anak yang masih berada dalam fase-fase usia remaja kemudian melakukan pelanggaran terhadap norma hukum, norma sosial, norma susila dan norma-norma agama, maka perbuatan anak tersebut digolongkan kenakalan remaja (Juvenile Deliquency).



      Secara global delinquent yang dilakukan oleh anak remaja dapat berupa berupa delinquent sosiologis dan delinquent individual; pembagian ini berdasarkan sikap dan corak perbuatan. Dapat di pandang sebagai delinquent sosiologis apabila anak memusuhi seluruh konteks kemasyarakatan kecuali konteks masyarakatnya sendiri. Dalam kondisi tersebut kebanyakan anak tidak merasa bersalah bila merugikan orang lain, asal bukan dari kelompoknya sendiri, atau merasa tidak berdosa walau mencuri hak milik orang lain asal bukan kelompoknya sendiri yang menderita kerugian. Sedangkan dalam delinquent individual, anak tersebut memusuhi orang baik tetangga, kawan dan sekolah atau sanak saudara bahkan termasuk kedua orang tuanya sendiri. Biasanya hubungan dengan orang tua semakin memburuk justru karena bertambahanya usia. Pada garis besarnya dari kedua bentuk delinquent ternyata delinquent sosiologislah yang sering melakukan pelanggaran didalam masyarakat. Hal ini bukan berarti delinquent individual sama sekali tidak menimbulkan keresahan didalam masyarakat.



      Kedua bentuk delinquent sama-sama merugikan dan meresahkan masyarakat. Delinquent sosiologis dan individual bukan merupakan dua hal yang antagonis, akan tetapikeduanya hanya memiliki batas secara gradasi saja. Jika ditinjau dari bermulanya, dapat terjadi keduanya saling menunjang dan memperkembangkan. Dalam hal ini dapat kita jumpai seorang anak menjadi delinquent bermula dari keadaan intern dan kemudian dikembangkan dan ditunjang oleh pergaulan, akan tetapi tidak jarang pula seorang anak menjadi delinquent justru karena meniru kawan-kawan sebayanya kemudian di dukung oleh berkembang didalam keluarga. Seorang anak yang hidup ditengah-tengah masyarajkat yng sholeh dalam bergaul dengan kawan-kawan sebaya yang baik dapat menjadi delinquent karena pengaruh kehidupan keluarga, misalnya; karena broken home atau quasi broken home. Demikian pula seorang anak dibesarkan didalam lingkungan keluarga yang sholeh dapat menjadi delinquent karena pengaruh kehidupan masyarakat sekitar atau pengaruh teman-teman sepermainannya, akan tetapi probabilitas sangat rendah.



      Agar dapat memberikan penilaian apakah suatu perbuatan termasuk delinquent atau tidak, maka hendaklah diperhatikan faktor hukum pidana yang berlaku sebagai hukum positif serta faktor lingkungan yang menjadi ajang hidup anak remaja. Pertama-tama, hukum pidanalah yang merumuskan bahwa suatu perbuatan merupakan suatu pelanggaran dan kejahatan. Jika penilaian delinquent berdasarkan faktor hukum pidana, maka konsekuensinya disetiap negara akan berbeda penilaiannya. Penilaian kedua dalam menentukan delinquentadalah norma atau kaidah-kaidah yang hidup dan bertumbuh dalam masyarakat. Dalam penilaian kedua akan terjadi perbedaan penilaian antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Misalnya saja antara masyarakat desa dan masyarakat kota. Kedua masyarakat tersebut memiliki norma-norma yang agak berbeda. Adat kebiasaan dan norma-norma kemasyarakatan yang hidup dan bertumbuh di desa agak berbeda dengan adat kebiasaan yang berkembnag di kota secara gradasi.



     Di atas telah dikupas secara rinci dalam segala aspek tentang “Juvenile Deliquency” yang dalam konteks ii disebut “Kenakalan Remaja”. Penentu utama dalam “Juvenile Deliquency” yakni hukum pidana. dalam kaitan ini pembatasan Anglo Saxon dapat diterima, bahwa: Juvenile Deliquency berarti perbuatan dan tingkah laku yang merupakan perbuatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelangaran-pelangaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para Juvenile Deliquency. Juvenile Deliquency itu adalah offenders yang terdiri dari “anak” (berumur dibawah 21 tahun: pubertas), yang termasuk yurisdiksi pengadilan anak/juvenile court.



      Pada prinsipnya Juvenile Deliquency adalah kejahatan dan pelanggaran pada orang dewasa, akan tetapi menjadi “Juvenile Deliquency” oleh kkarena pelakunya adalah : anak/kaum remaja; mereka yang belum mencapai umur dewasa secara yuridis formal. Bertitik tolak pada konsep dasar inilah maka wujud “Juvenile Deliquency” dapat dipaparkan sebagai berikut : pembunuhan dan penganiayaan (tergolong kejahatan-kejahatan kekerasan); pencurian :pengelapan; penipuan; gelandangan dan lain sebagainya.



      Secara yuridis formal masalah “Juvenile Deliquency” telah memperoleh pedoman yang baku. Pertama-tama adalah hukum pidana yang pengaturannya tersebar dalam beberapa pasal; sebagai pasal yang embrional adalah pasal 45-46 dan 47 KUH Pidana. Disamping itu KUH Perdata pun mengatur tentang “Juvenile Deliquency” terutama pasal 302 dan segala pasal yang ditunjuk dan terkait. Kondisi dualistik tersebut membawa konsekuensi logis yang berbeda didalam sebutan, walaupun pada prinsip dasarnya sama. “Juvenile Deliquency” yang melawan kaidah hukum tertulis yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebut “Anak Negara” dan sesuai dengan ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebut “Anak Negara” dan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut “Anak Sipil”.



      Berbagai penelitian yang dilakukan bahwa sebagian besar remaja dilekuen berasal dari keluarga yang sudah tidajk utuh strukturnya. Keluarga menjadi kelompok sosial yang utama tempat anak belajar menjadi manusia sosial. Rumah tangga menjadi tempat pertamadari perkembangan segi-segi sosialnya di dalam interaksi sosial dengan orang tuanya yang wajar, sehingga apabila hubungan dengan orang tua kurang baik, maka besar kemungkinannanya bahwa interaksi sosialnya pun berlangsung kurang baik.



      Karena keremajaan itu selalu maju untuk lebih banyak melakukan hubungan sosial dengan teman sebaya sehingga hubungan diantara mereka semakin kuat sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan dari kelompoknya tersebut. Pengaruh dari norma kelompok sosial tersebut semakin lebih kuat dari norma keluarga, demikian pula pengaruh pada perilaku pelanggaran hukum tanpa peduli pada perasaan diri sendiri.
      Kenakalan remaja dapat ditimbulkan oleh beberapa hal, sebagian di antaranya adalah:
  1. PENGARUH KAWAN SEPERMAINAN
    Di kalangan remaja, memiliki banyak kawan adalah merupakan satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak kawan, makin tinggi nilai mereka di mata teman-temannya. Apalagi mereka dapat memiliki teman dari kalangan terbatas. Misalnya, anak orang yang paling kaya di kota itu, anak pejabat pemerintah setempat bahkan mungkin pusat atau pun anak orang terpandang lainnya. Di jaman sekarang, pengaruh kawan bermain ini bukan hanya membanggakan si remaja saja tetapi bahkan juga pada orangtuanya. Orangtua juga senang dan bangga kalau anaknya mempunyai teman bergaul dari kalangan tertentu tersebut. Padahal, kebanggaan ini adalah semu sifatnya. Malah kalau tidak dapat dikendalikan, pergaulan itu akan menimbulkan kekecewaan nantinya. Sebab kawan dari kalangan tertentu pasti juga mempunyai gaya hidup yang tertentu pula. Apabila si anak akan berusaha mengikuti tetapi tidak mempunyai modal ataupun orangtua tidak mampu memenuhinya maka anak akan menjadi frustrasi. Apabila timbul frustrasi, maka remaja kemudian akan melarikan rasa kekecewaannya itu pada narkotik, obat terlarang, dan lain sebagainya.Pengaruh kawan ini memang cukup besar. Dalam Mangala Sutta, Sang Buddha bersabda:“Tak bergaul dengan orang tak bijaksana, bergaul dengan mereka yang bijaksana, itulah Berkah Utama”. Pengaruh kawan sering diumpamakan sebagai segumpal daging busuk apabila dibungkus dengan selembar daun maka daun itupun akan berbau busuk. Sedangkan bila sebatang kayu cendana dibungkus dengan selembar kertas, kertas itu pun akan wangi baunya. Perumpamaan ini menunjukkan sedemikian besarnya pengaruh pergaulan dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang ketika remaja, khususnya. Oleh karena itu, orangtua para remaja hendaknya berhati-hati dan bijaksana dalam memberikan kesempatan anaknya bergaul. Jangan biarkan anak bergaul dengan kawan-kawan yang tidak benar. Memiliki teman bergaul yang tidak sesuai, anak di kemudian hari akan banyak menimbulkan masalah bagi orangtuanya.
Untuk menghindari masalah yang akan timbul akibat pergaulan, selain mengarahkan untuk mempunyai teman bergaul yang sesuai, orangtua hendaknya juga memberikan kesibukan dan mempercayakan sebagian tanggung jawab rumah tangga kepada si remaja. Pemberian tanggung jawab ini hendaknya tidak dengan pemaksaan maupun mengada-ada. Berilah pengertian yang jelas dahulu, sekaligus berilah teladan pula. Sebab dengan memberikan tanggung jawab dalam rumah akan dapat mengurangi waktu anak ‘kluyuran’ tidak karuan dan sekaligus dapat melatih anak mengetahui tugas dan kewajiban serta tanggung jawab dalam rumah tangga. Mereka dilatih untuk disiplin serta mampu memecahkan masalah sehari-hari. Mereka dididik untuk mandiri. Selain itu, berilah pengarahan kepada mereka tentang batasan teman yang baik.
Dalam Digha Nikaya III, 188, Sang Buddha memberikan petunjuk tentang kriteria teman baik yaitu mereka yang memberikan perlindungan apabila kita kurang hati-hati, menjaga barang-barang dan harta kita apabila kita lengah, memberikan perlindungan apabila kita berada dalam bahaya, tidak pergi meninggalkan kita apabila kita sedang dalam bahaya dan kesulitan, dan membantu sanak keluarga kita.
Sebaliknya, dalam Digha Nikaya III, 182 diterangkan pula kriteria teman yang tidak baik. Mereka adalah teman yang akan mendorong seseorang untuk menjadi penjudi, orang yang tidak bermoral, pemabuk, penipu, dan pelanggar hukum.

2.      PENDIDIKAN

Memberikan pendidikan yang sesuai adalah merupakan salah satu tugas orangtua kepada anak seperti yang telah diterangkan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 188. Agar anak dapat memperoleh pendidikan yang sesuai, pilihkanlah sekolah yang bermutu. Selain itu, perlu dipikirkan pula latar belakang agama pengelola sekolah. Hal ini penting untuk menjaga agar pendidikan Agama Buddha yang telah diperoleh anak di rumah tidak kacau dengan agama yang diajarkan di sekolah. Berilah pengertian yang benar tentang adanya beberapa agama di dunia. Berilah pengertian yang baik dan bebas dari kebencian tentang alasan orangtua memilih agama Buddha serta alasan seorang anak harus mengikuti agama orangtua, Agama Buddha.Ketika anak telah berusia 17 tahun atau 18 tahun yang merupakan akhir masa remaja, anak mulai akan memilih perguruan tinggi. Orangtua hendaknya membantu memberikan pengarahan agar masa depan si anak berbahagia. Arahkanlah agar anak memilih jurusan sesuai dengan kesenangan dan bakat anak, bukan semata-mata karena kesenangan orang tua. Masih sering terjadi dalam masyarakat, orangtua yang memaksakan kehendaknya agar di masa depan anaknya memilih profesi tertentu yang sesuai dengan keinginan orangtua. Pemaksaan ini tidak jarang justru akan berakhir dengan kekecewaan. Sebab, meski memang ada sebagian anak yang berhasil mengikuti kehendak orangtuanya tersebut, tetapi tidak sedikit pula yang kurang berhasil dan kemudian menjadi kecewa, frustrasi dan akhirnya tidak ingin bersekolah sama sekali. Mereka malah pergi bersama dengan kawan-kawannya, bersenang-senang tanpa mengenal waktu bahkan mungkin kemudian menjadi salah satu pengguna obat-obat terlarang.
Anak pasti juga mempunyai hobi tertentu. Seperti yang telah disinggung di atas, biarkanlah anak memilih jurusan sekolah yang sesuai dengan kesenangan ataupun bakat dan hobi si anak. Tetapi bila anak tersebut tidak ingin bersekolah yang sesuai dengan hobinya, maka berilah pengertian kepadanya bahwa tugas utamanya adalah bersekolah sesuai dengan pilihannya, sedangkan hobi adalah kegiatan sampingan yang boleh dilakukan bila tugas utama telah selesai dikerjakan.
3.      PENGGUNAAN WAKTU LUANG

Kegiatan di masa remaja sering hanya berkisar pada kegiatan sekolah dan seputar usaha menyelesaikan urusan di rumah, selain itu mereka bebas, tidak ada kegiatan. Apabila waktu luang tanpa kegiatan ini terlalu banyak, pada si remaja akan timbul gagasan untuk mengisi waktu luangnya dengan berbagai bentuk kegiatan. Apabila si remaja melakukan kegiatan yang positif, hal ini tidak akan menimbulkan masalah. Namun, jika ia melakukan kegiatan yang negatif maka lingkungan dapat terganggu. Seringkali perbuatan negatif ini hanya terdorong rasa iseng saja. Tindakan iseng ini selain untuk mengisi waktu juga tidak jarang dipergunakan para remaja untuk menarik perhatian lingkungannya. Perhatian yang diharapkan dapat berasal dari orangtuanya maupun kawan sepermainannya. Celakanya, kawan sebaya sering menganggap iseng berbahaya adalah salah satu bentuk pamer sifat jagoan yang sangat membanggakan. Misalnya, ngebut tanpa lampu dimalam hari, mencuri, merusak, minum minuman keras, obat bius, dan sebagainya.Munculnya kegiatan iseng tersebut selain atas inisiatif si remaja sendiri, sering pula karena dorongan teman sepergaulan yang kurang sesuai. Sebab dalam masyarakat, pada umunya apabila seseorang tidak mengikuti gaya hidup anggota kelompoknya maka ia akan dijauhi oleh lingkungannya. Tindakan pengasingan ini jelas tidak mengenakkan hati si remaja, akhirnya mereka terpaksa mengikuti tindakan kawan-kawannya. Akhirnya ia terjerumus. Tersesat.
Oleh karena itu, orangtua hendaknya memberikan pengarahan yang berdasarkan cinta kasih bahwa sikap iseng negatif seperti itu akan merugikan dirinya sendiri, orangtua, maupun lingkungannya. Dalam memberikan pengarahan, orangtua hendaknya hanya membatasi keisengan mereka. Jangan terlalu ikut campur dengan urusan remaja. Ada kemungkinan, keisengan remaja adalah semacam ‘refreshing’ atas kejenuhannya dengan urusan tugas-tugas sekolah. Dan apabila anak senang berkelahi, orangtua dapat memberikan penyaluran dengan mengikutkannya pada satu kelompok olahraga beladiri.
Mengisi waktu luang selain diserahkan kepada kebijaksanaan remaja, ada baiknya pula orangtua ikut memikirkannya pula. Orangtua hendaknya jangan hanya tersita oleh kesibukan sehari-hari. Orangtua hendaknya tidak hanya memenuhi kebutuhan materi remaja saja. Orangtua hendaknya juga memperhatikan perkembangan batinnya. Remaja, selain membutuhkan materi, sebenarnya juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Oleh karena itu, waktu luang yang dimiliki remaja dapat diisi dengan kegiatan keluarga sekaligus sebagai sarana rekreasi. Kegiatan keluarga ini hendaknya dapat diikuti oleh seluruh anggota keluarga. Kegiatan keluarga dapat berupa pembacaan Paritta bersama di Cetiya dalam rumah ataupun melakukan berbagai bentuk permainan bersama, misalnya scrabble, monopoli, dan lain sebagainya. Kegiatan keluarga dapat pula berupa tukar pikiran dan berbicara dari hati ke hati. Misalnya, dengan makan malam bersama atau duduk santai di ruang keluarga. Pada hari Minggu seluruh anggota keluarga dapat diajak kebaktian di Vihãra setempat. Mengikuti kebaktian, selain memperbaiki pola pikir agar lebih positif sesuai dengan Buddha Dhamma juga dapat menjadi sarana rekreasi. Hal ini dapat terjadi karena di Vihãra kita dapat berjumpa dengan banyak teman dan juga dapat berdiskusi Dhamma dengan para Bhikkhu maupun pandita yang dijumpai. Selain itu, dihari libur, seluruh anggota keluarga dapat bersama-sama pergi berenang, jalan-jalan ke taman ria atau mal, dan lain sebagainya.
4.      UANG SAKU

Orangtua hendaknya memberikan teladan untuk menanamkan pengertian bahwa uang hanya dapat diperoleh dengan kerja dan keringat. Remaja hendaknya dididik agar dapat menghargai nilai uang. Mereka dilatih agar mempunyai sifat tidak suka memboroskan uang tetapi juga tidak terlalu kikir. Anak diajarkan hidup dengan bijaksana dalam mempergunakan uang dengan selalu menggunakan prinsip hidup ‘Jalan tengah’ seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.Ajarkan pula anak untuk mempunyai kebiasaan menabung sebagian dari uang sakunya. Menabung bukanlah pengembangan watak kikir, melainkan sebagai bentuk menghargai uang yang didapat dengan kerja dan semangat.
Pemberian uang saku kepada remaja memang tidak dapat dihindarkan. Namun, sebaiknya uang saku diberikan dengan dasar kebijaksanaan. Jangan berlebihan. Uang saku yang diberikan dengan tidak bijaksana akan dapat menimbulkan masalah. Yaitu:
a.       Anak menjadi boros
b.      Anak tidak menghargai uang, dan
c.       Anak malas belajar, sebab mereka pikir tanpa kepandaian pun uang gampang.
5.      PERILAKU SEKSUAL

Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat yang menguatirkan. Para remaja dengan bebas dapat bergaul antar jenis. Tidak jarang dijumpai pemandangan di tempat-tempat umum, para remaja saling berangkulan mesra tanpa memperdulikan masyarakat sekitarnya. Mereka sudah mengenal istilah pacaran sejak awal masa remaja. Pacar, bagi mereka, merupakan salah satu bentuk gengsi yang membanggakan. Akibatnya, di kalangan remaja kemudian terjadi persaingan untuk mendapatkan pacar. Pengertian pacaran dalam era globalisasi informasi ini sudah sangat berbeda dengan pengertian pacaran 15 tahun yang lalu. Akibatnya, di jaman ini banyak remaja yang putus sekolah karena hamil. Oleh karena itu, dalam masa pacaran, anak hendaknya diberi pengarahan tentang idealisme dan kenyataan. Anak hendaknya ditumbuhkan kesadaran bahwa kenyataan sering tidak seperti harapan kita, sebaliknya harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Demikian pula dengan pacaran. Keindahan dan kehangatan masa pacaran sesungguhnya tidak akan terus berlangsung selamanya.Dalam memberikan pengarahan dan pengawasan terhadap remaja yang sedang jatuh cinta, orangtua hendaknya bersikap seimbang, seimbang antar pengawasan dengan kebebasan. Semakin muda usia anak, semakin ketat pengawasan yang diberikan tetapi anak harus banyak diberi pengertian agar mereka tidak ketakutan dengan orangtua yang dapat menyebabkan mereka berpacaran dengan sembunyi-sembunyi. Apabila usia makin meningkat, orangtua dapat memberi lebih banyak kebebasan kepada anak. Namun, tetap harus dijaga agar mereka tidak salah jalan. Menyesali kesalahan yang telah dilakukan sesungguhnya kurang bermanfaat.
      Penyelesaian masalah dalam pacaran membutuhkan kerja sama orangtua dengan anak. Misalnya, ketika orangtua tidak setuju dengan pacar pilihan si anak. Ketidaksetujuan ini hendaknya diutarakan dengan bijaksana. Jangan hanya dengan kekerasan dan kekuasaan. Berilah pengertian sebaik-baiknya. Bila tidak berhasil, gunakanlah pihak ketiga untuk menengahinya. Hal yang paling penting di sini adalah adanya komunikasi dua arah antara orangtua dan anak. Orangtua hendaknya menjadi sahabat anak. Orangtua hendaknya selalu menjalin dan menjaga komunikasi dua arah dengan sebaik-baiknya sehingga anak tidak merasa takut menyampaikan masalahnya kepada orangtua.
      Dalam menghadapi masalah pergaulan bebas antar jenis di masa kini, orangtua hendaknya memberikan bimbingan pendidikan seksual secara terbuka, sabar, dan bijaksana kepada para remaja. Remaja hendaknya diberi pengarahan tentang kematangan seksual serta segala akibat baik dan buruk dari adanya kematangan seksual. Orangtua hendaknya memberikan teladan dalam menekankan bimbingan serta pelaksanaan latihan kemoralan yang sesuai dengan Buddha Dhamma. Sang Buddha telah memberikan pedoman untuk bergaul yang tentunya juga sesuai untuk pegangan hidup para remaja. Mereka hendaknya dididik selalu ingat dan melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis atau lima latihan kemoralan ini adalah latihan untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan. Dengan memiliki latihan kemoralan yang kuat, remaja akan lebih mudah menentukan sikap dalam bergaul. Mereka akan mempunyai pedoman yang jelas tentang perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dikerjakan. Dengan demikian, mereka akan menghindari perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan melaksanakan perbuatan yang harus dilakukan.

No comments:

Post a Comment